Kamis, 11 Agustus 2011

memiliih Calon Suami

Mudahan-mudahan Alloh mengakaruniakan kepada kita seorang suami yang menjadi imam, yang akan membimbing kita pada kesempurnaan iman dan takwa kepada Alloh. Dan mudah-mudahan kita dihindarkan dari hadirnya seorang calon suami yang tak mengerti tanggungjawab “keimamannya”, sumber fitnah dan kesengsaraan batin bagi istri dan keluarga. Na’udzubillah…
Setelah doa dipanjatkan, ada ikhtiar yang harus dilakukan. Ada ilmu yang harus dipahami kemudian menjadikannya sebagai keyakinan di dalam hati. Ini mengenai calon suami. Ketika kita benar-benar memiliki kesiapan untuk menikah, hal apakah yang perlu diketahui?. Bagaimana menentukan calon suami yang baik, yang kelak bisa menjadi imam bagi istri dan anak-anaknya?
Sulit tidaknya menentukan calon suami adalah perkara subyektif bagi masing-masing orang. Sebagian berasumsi mudah untuk mendapatkan suami yang cocok dengan yang diharapkan. Apalagi menurut yang sudah saling kenal, sudah lama pacaran, luar dalamnya si calon suami sudah diukur dan diuji dengan matang. Tanggung jawab, penyayang, perhatian, mapan dan sedikit tampan. Begitu kira-kira hasil penilaian akhir yang kemudian memantapkan seorang wanita untuk menikah dengan sang pacar.
Anehnya, ukuran-ukuran yang sudah diuji beberapa kali dalam masa-masa interaksi sebelum nikah itu kadang dan bahkan sering meleset dari harapan. Tak sedikit perhatian dan ungkapan rasa cinta suaminya yang berubah menjadi asing dan “mahal” ketika sudah berada dalam bingkai rumah tangga. Layaknya kelapa yang tinggal ampasnya. Tak ada manisnya lagi dalam interaksi, seakan terus habis seiring perjalanan usia. Bosan, tidak betah, puber kedua atau apalah istilah yang sering jadi alasan. Kenyataan tak sesuai harapan. Rumah selalu terisi dengan kekecewaan, Keluh kesah, dan penyesalan. “kau bukan yang dulu lagi..”, Lirik lagu yang dibawakan oleh Dewi Yull ini bisa menjadi hits paling sering disenandungkan pada masa-masa seperti ini.
Kenapa terjadi demikian?. Padahal dahulu katanya sudah kenal luar dalam?. Wallohu A’lam. Hanya yang kita ketahui bersama, bahwa rumah tangga rusak disebabkan karena rumah tangga itu tidak barokah. Sedangkan penyebab ketidakbarokahan rumah tangga itu ada banyak. Yang paling besar adalah disebabkan kekeliruan dalam niat dan proses-proses sebelum nikah. Ada baiknya kita renungkan Sabda Rosululloh berikut ini : Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan laki-laki itu meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu di barokahinya !!
Barokah itu, ya barokah. Dialah yang menentukan baik tidaknya perjalanan sebuah rumah tangga. Salah niat ketika menikah bisa mendatangkan ketidakbarokahan. Mungkin seorang wanita tidak gila harta, tidak menikah karena harta calon suami, tapi apakah dia sudah memperhatikan agama dan akhlaknya?. Padahal buruknya agama dan akhlak seorang calon suami adalah akar ketidakbarokahan. Ada kalimat menarik dari ustadz Didik Purwodarsono yang dikutip oleh Ustadz Fauzil A’dhim dalam buku ”saatnya Untuk Menikah”. Kata beliau :
Cara untuk belajar menjadi Istri terbaik hanyalah melalui suami. Cara untuk belajar menjadi suami terbaik hanyalah melalui istri. Tidak bisa melalui pacaran. Pacaran hanya mengajarkan bagaimana menjadi pacar terbaik, bukan suami atau istri terbaik.

Kamis, 04 Agustus 2011

ketika uang jadi tuhan

Ketika uang menjadi Tuhan, ialah saat uang menjadi satu-satunya yang kita cari dalam hidup.  Dan segala cara dihalalkan untuk itu. Semua diatasnamakan demi kesejahteraan keluarga, negara, diri, tapi intinya tetap uang.  Ironis sekali.
Kita hidup memang butuh uang untuk beli makan, untuk biaya sekolah anak, dan banyak lagi.  Tapi jika karena uang semua dikorbankan, maka yang dicari sebenarnya hanya kebahagiaan dunia semata.  Apa itu yang anda inginkan?
Coba jalani hidup ini dengan hati yang bersih.  Maka anda akan merasakan bahwa memiliki uang bukan berarti memiliki segalanya.  Tetapi memiliki cinta Tuhan adalah kebahagiaan yang tidak ada bandingannya.  Saat kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan diawasi oleh malaikat-malaikatnya, kita akan merasa bahagia.  Saat kita menuliskan lembaran-lembaran hidup dengan tinta berwarna cerah, hati kita pun cerah.
Hidup ini cuma sebentar, dan hidup ini adalah jembatan untuk ke kehidupan berikutnya.  Apa yang kita lakukan sekarang, akan menjadi tiket hidup berikutnya.  Anda yang menentukan itu sendiri.  Uangkah yang menjadi tiket anda?

Jumat, 29 Juli 2011

Apa arti sebuah eksistensi diri

Sebuah ungkapan yang barangkali sudah sering kita dengar “Cogito Ergo Sum”,(saya berfikir maka saya ada) bila kita berbicara mengenai eksistensi diri seseorang. Itulah ungkapan yang keluar dari seorang filsuf Perancis Rene Descartes. Bagi saya eksistensi diri itu penting untuk dipertanyakan pada diri kita. Bagi saya eksistensi diri adalah manifestasi dari kualitas diri, seseorang tidak akan diakui eksistensinya apabila ia tidak memiliki kualitas yang secara mencolok berbeda atau lebih dari orang lain. Bukan asal berbeda tetapi juga berkualitas. Anak Baru Gede biasanya akan mencari ekspresi untuk menunjukkan bahwa ia bukan anak-anak lagi. Mereka ingin diakui eksistensinya sebagai anak yang sudah dewasa dengan ekspresi yang kadang aneh.

Sesungguhnya eksistensi adalah sesuatu yang inherent pada diri seseorang. Tidak usah menonjol-nonjolkan diri kalau memang memiliki kelebihan maka orang lain akan mengakui kelebihan tersebut. Tinggal bagi kita sekarang akan diarahkan kemana diri kita. Orang yang berorientasi pada materi tentu akan sibuk mengejar materi untuk menunjukkan eksistensi dirinya yang diukur dengan uang. Orang yang berorientasi pada karier tentu akan disibukkan dengan aktivitas yang menungjang kariernya. Orang yang berorientasi pada keberhasilan anak-anaknya tentu akn berusaha semaksimal mungkin agar anak-anaknya berhasil. Bagi saya semua sah-sah saja, karena itu adalah pilihan hidup. Yang menjadi persoalan adalah jika kita ingin diakui eksistensi diri kita tetapi menggunakan cara-cara yang tidak sehat dan tidak mengikuti hukum alam. Bahwa siapa yang menanam tentu berhak untuk memanen hasilnya. Kalau tidak menanam kebaikan jangan berharap akan memanen kebaikan.

Rabu, 20 Juli 2011

hidup itu pilihan

Menentukan pilihan hidup memang bukan perkara mudah, apalagi jika resiko didalamnya diperkirakan sama-sama memiliki imbas yang cukup besar yang tidak hanya pada diri sendiri tapi juga pada orang disekitarnya.
Dalam posisi seperti ini, rasionalitas jelas harus dijaga agar selalu lebih unggul daripada emosi hati. Meski sudahlah mafhum rasanya tidak ada rasionalitas yang meluap-luap, sebaliknya yang sering ada adalah emosi yang meluap-luap. Dengan kata lain, kalaulah ada “the power of nekad”, maka tentu harus pula diimbangi dengan “rasa syukur yang dahsyat!”
Dan karena hidup itu sendiri adalah pilihan, maka sesulit apapun mau tidak mau tetap harus memilih. Kalau sudah begini, rasanya penting untuk dicatat seperti apa kata Albert Einstein, ” berupayalah tidak hanya menjadi manusia yang sukses, tapi juga menjadi manusia yang bernilai.”
Maka pilihan hidup yang baik tentu tidak hanya semata agar menjadi manusia yang sukses, tapi juga bagaimana menjadi manusia yang bernilai.
Oh .. betapa indahnya! … bila tidak hanya sebatas kata-kata …

Sabtu, 18 Juni 2011

hatiku yang sekarat

hidup itu seperti sebuah roda yang menggelinding di atas jalan berbatu. ad saat kita berada di atas tp ada pula saat-saat kita berada dibawah dan merasakan berbagai kesakitan hidup..hati tempat berkumpulnya berbagai perasaan..ada seorangh sahabat yang berkata kepadaku..kita jg butuh waktu untuk menghargai diri sendiri. ketika hati merasa seolah-olah remuk pasti terbawa-bawa kepada hal yang lain.aku jadi ingat pada ibuku yang telah membesarkaknku hingga seperti sekarang ini.

hatiku yang sekarat